Makna dan Fungsi Tembung Cinatur dalam Sastra Jawa

Tembung cinatur merupakan salah satu elemen penting dalam sastra Jawa yang memiliki peran krusial dalam memperkaya makna dan keindahan karya sastra. Tembung cinatur, yang juga dikenal sebagai kiasan, merupakan penggunaan kata atau frasa yang tidak sesuai dengan makna harfiahnya, tetapi mengandung makna tersirat yang lebih dalam. Penggunaan tembung cinatur dalam sastra Jawa tidak hanya memperindah karya sastra, tetapi juga menjadi alat untuk menyampaikan pesan moral, nilai-nilai budaya, dan bahkan kritik sosial.

Makna Tembung Cinatur dalam Sastra Jawa

Tembung cinatur dalam sastra Jawa memiliki makna yang luas dan beragam. Secara sederhana, tembung cinatur dapat diartikan sebagai penggunaan kata atau frasa yang tidak sesuai dengan makna harfiahnya, tetapi mengandung makna tersirat yang lebih dalam. Makna tersirat ini dapat berupa makna simbolik, alegoris, atau bahkan metaforis.

Sebagai contoh, dalam tembung cinatur "atiku nggreget", kata "ati" tidak merujuk pada organ tubuh, tetapi melambangkan perasaan atau emosi. Dalam konteks ini, "atiku nggreget" berarti "aku merasa sedih". Penggunaan tembung cinatur seperti ini membuat karya sastra lebih menarik dan penuh makna.

Fungsi Tembung Cinatur dalam Sastra Jawa

Tembung cinatur memiliki beberapa fungsi penting dalam sastra Jawa, antara lain:

* Meningkatkan keindahan karya sastra: Penggunaan tembung cinatur dapat membuat karya sastra lebih indah dan menarik. Kata-kata yang dipilih dengan cermat dan mengandung makna tersirat dapat menciptakan efek estetis yang kuat.

* Menyampaikan pesan moral: Tembung cinatur dapat digunakan untuk menyampaikan pesan moral yang tersirat. Misalnya, dalam tembung cinatur "banyu mili tekan segara", kata "banyu" dapat melambangkan kehidupan manusia, sedangkan "segara" melambangkan kematian. Pesan moral yang tersirat adalah bahwa kehidupan manusia akan berakhir seperti air yang mengalir ke laut.

* Melestarikan nilai-nilai budaya: Tembung cinatur seringkali mengandung nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun temurun. Penggunaan tembung cinatur dalam karya sastra dapat membantu melestarikan nilai-nilai budaya tersebut.

* Menyampaikan kritik sosial: Tembung cinatur dapat digunakan untuk menyampaikan kritik sosial secara halus. Misalnya, dalam tembung cinatur "kebo nanging ora ngombe banyu", kata "kebo" dapat melambangkan orang yang kaya raya, sedangkan "ora ngombe banyu" melambangkan orang yang pelit. Kritik sosial yang tersirat adalah bahwa orang kaya yang pelit tidak akan mendapatkan kebahagiaan.

Jenis-Jenis Tembung Cinatur dalam Sastra Jawa

Tembung cinatur dalam sastra Jawa dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain:

* Paribasan: Peribahasa adalah ungkapan yang mengandung makna kiasan dan biasanya digunakan untuk memberikan nasihat atau petunjuk. Contoh: "Banyu bening ora ngombe, banyu keruh ora ngombe, banyu mili ora ngombe, banyu nggeneng ora ngombe."

* Pepatah: Pepatah adalah ungkapan yang mengandung makna bijak dan biasanya digunakan untuk memberikan nasihat atau petunjuk. Contoh: "Sing sabar bakal menang."

* Sulinggih: Sulinggih adalah ungkapan yang mengandung makna kiasan dan biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang indah atau menarik. Contoh: "Wajahmu ayu kaya kembang mawar."

* Parikan: Parikan adalah ungkapan yang terdiri dari dua baris dan mengandung makna kiasan. Contoh: "Kebo nanging ora ngombe banyu, wong sugih nanging ora gelem sedekah."

Kesimpulan

Tembung cinatur merupakan elemen penting dalam sastra Jawa yang memiliki peran krusial dalam memperkaya makna dan keindahan karya sastra. Penggunaan tembung cinatur dalam sastra Jawa tidak hanya memperindah karya sastra, tetapi juga menjadi alat untuk menyampaikan pesan moral, nilai-nilai budaya, dan bahkan kritik sosial. Dengan memahami makna dan fungsi tembung cinatur, kita dapat lebih memahami dan menghargai keindahan dan kekayaan sastra Jawa.