Kebebasan dan Ketakutan di Tepi Pantai Pangandaran

Ketika berada di Pantai Pangandaran yang cerah, saya melihat banyak wisatawan asing yang sedang menikmati liburan mereka. Beberapa dari mereka bermain layang-layang, sementara yang lain hanya duduk-duduk menikmati pemandangan pantai yang indah. Di tengah keramaian itu, saya duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian. Udara yang kuhirup terasa amis karena bau laut dan pabrik ikan asin yang berdekatan. Meskipun sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, saya tetap bertahan di luar kios. Saya tidak ingin masuk karena tahu Uwak Imas akan meminta saya untuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Meskipun saya hanya bisa mengatakan "yes" dan "no", saya tidak ingin menjadi bagian dari pertukaran itu. Saat melihat sekeliling, mata saya tertuju pada sekelompok nelayan yang bersiap-siap untuk berlayar. Saya ingat bahwa mereka baru saja kembali dari perjalanan malam dan sekarang siap untuk berlayar lagi. Apa yang membuat mereka begitu gigih? Apakah mereka menemukan ikan tuna di tengah laut? Tapi kemudian saya menyadari bahwa mereka tidak menggunakan peralatan canggih seperti radar, melainkan hanya alat tradisional yang mereka kuasai sejak puluhan tahun. Mereka adalah nelayan yang hidup dengan laut, mengandalkan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk mencari nafkah. Saya merasa tertarik dan berjalan mendekati mereka. Angin yang kencang membuat telinga saya berdesing. Tumbuh di pesisir pantai, saya memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Saya takut membenci laut. Saya takut bahwa laut yang selama ini saya anggap sebagai teman, bisa berubah menjadi musuh dan mengambil segala yang saya cintai. Bagi saya, laut adalah rumah, dan rumah saya adalah laut. Ketika saya mendekati bibir pantai, Bapak, salah satu nelayan, melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar sinar matahari, dan rambutnya sudah memudar akibat sering terkena air laut. Meskipun wajahnya dipenuhi keriput, Bapak masih terlihat segar. Mata hitamnya bersinar saat melihatku, seperti sinar matahari yang memantulkan keindahan laut. Kisah hidup di tepi Pantai Pangandaran ini mengajarkan saya tentang kebebasan dan ketakutan. Seperti layang-layang yang terbang tinggi di langit, kita mungkin merasa bebas, tetapi ada tali tipis yang mengikat kita. Begitu juga dengan kehidupan di tepi pantai, kita mungkin merasa dekat dengan laut dan menikmati kebebasannya, tetapi ada ketakutan yang selalu mengintai. Namun, kita harus tetap berani menghadapinya dan menjalani hidup dengan penuh semangat, seperti nelayan-nelayan yang mengandalkan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk bertahan hidup di laut yang kadang-kadang ganas. Kehidupan di tepi Pantai Pangandaran mengajarkan saya untuk menghargai kebebasan dan menghadapi ketakutan dengan kepala tegak. Meskipun ada tali yang mengikat kita, kita masih bisa terbang tinggi dan menikmati keindahan dunia ini.