Lokasi Rumahku: Sebuah Potret Ketimpangan Infrastruktur Perkotaan?

Rumahku, sebuah rumah tipe 36 yang mungil namun nyaman, terletak di pinggiran kota. Sebuah jalan setapak berbatu, yang berdebu saat kemarau dan becek ketika hujan, menuntunku pulang setiap harinya. Di sinilah aku bernaung, di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang jauh dari hingar-bingar gemerlap kota. Lokasiku, meskipun hanya sepelemparan batu dari pusat kota, seolah menjadi potret ketimpangan infrastruktur perkotaan yang nyata.

Akses Jalan: Sebuah Tantangan Sehari-hari

Jalan setapak berbatu itu adalah satu-satunya akses menuju rumahku. Tak ada aspal mulus, apalagi trotoar yang ramah pejalan kaki. Di musim hujan, jalanan berubah menjadi kubangan lumpur, menyulitkan kendaraan untuk lewat, bahkan sepeda motor pun harus ekstra hati-hati. Sementara itu, hanya beberapa kilometer dari tempat tinggalku, jalanan lebar dan mulus terhampar, dihiasi lampu-lampu jalan yang terang benderang. Ketimpangan infrastruktur perkotaan ini begitu terasa, bagaikan jurang pemisah antara dua dunia.

Penerangan Jalan: Antara Gelap dan Terang

Malam hari di rumahku selalu ditemani temaram lampu minyak. Penerangan jalan umum hanya ada di jalan utama, itupun jumlahnya terbatas. Kegelapan menyelimuti jalan setapak menuju rumah, menciptakan rasa was-was akan keamanan. Berbeda dengan hingar-bingar pusat kota yang benderang, lokasiku seolah tenggelam dalam kegelapan, menggambarkan dengan jelas ketimpangan infrastruktur perkotaan yang masih menjadi pekerjaan rumah.

Sarana dan Prasarana: Mimpi yang Jauh dari Realita

Puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya masih menjadi mimpi bagi warga di lokasiku. Untuk mendapatkan layanan kesehatan, kami harus menempuh perjalanan jauh ke pusat kota. Begitu pula dengan sarana pendidikan, hanya ada satu sekolah dasar dengan fasilitas seadanya. Anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi terpaksa harus berjuang lebih keras, menempuh jarak dan waktu yang tidak sedikit. Ketimpangan infrastruktur perkotaan ini membatasi akses kami terhadap layanan dasar yang seharusnya mudah dijangkau.

Harapan di Tengah Ketimpangan

Meskipun hidup di tengah keterbatasan infrastruktur, semangat warga di lokasiku untuk maju tak pernah padam. Kami bergotong royong memperbaiki jalan setapak, memasang lampu penerangan seadanya, dan bahu-membahu menciptakan lingkungan yang nyaman. Kami berharap, suatu saat nanti, lokasiku tidak lagi menjadi potret ketimpangan infrastruktur perkotaan. Kami mendambakan akses jalan yang layak, penerangan yang memadai, dan sarana prasarana yang memadai, sehingga kami dapat hidup setara dengan warga kota lainnya.

Rumahku mungkin jauh dari kata modern, namun di sinilah aku belajar tentang arti kebersamaan dan gotong royong. Lokasiku mungkin menjadi potret ketimpangan infrastruktur perkotaan, namun kami tak pernah berhenti berharap akan adanya perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.