Puncak Pemberontakan 1958: Deklarasi Djuanda dan Konferensi Asia Afrik

Pada tanggal 10 Februari 1958, terjadi pemberontakan yang dikenal sebagai Puncak Pemberontakan 1958 di Indonesia. Pemberontakan ini dipicu oleh ultimatum Dewan Banteng yang menyatakan bahwa Kabinet Indonesia harus mundur dari wilayah-wilayah teritorialnya dalam waktu 5x24 jam. Pemberontakan ini dipimpin oleh Letkol. Ahmad Husein dan melibatkan tokoh-tokoh seperti Andi Aziz dan RMS. Salah satu momen penting dalam pemberontakan ini adalah Deklarasi Djuanda yang diumumkan oleh Letkol. Ahmad Husein pada tanggal 29 Maret 1961. Deklarasi ini menyatakan bahwa pulau-pulau di Indonesia, termasuk yang berada di sekitar garis air rendah, merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Deklarasi Djuanda ini menjadi batu ujian bagi ideologi Pancasila dan berhasil mengatasi pemberontakan PRRI yang terjadi di Sulawesi. Selain itu, pada masa Demokrasi Parlementer, Indonesia juga mengalami gangguan stabilitas politik dan keamanan. Namun, beberapa keberhasilan juga terjadi, seperti penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Deklarasi Djuanda. Konferensi Asia Afrika diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 di Bandung dan dihadiri oleh 29 negara. Konferensi ini menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal dengan Dasasila Bandung. Penyelenggaraan KAA membawa keuntungan bagi Indonesia, seperti meningkatnya pamor Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan dukungan untuk pembebasan Irian Barat yang saat itu masih diduduki oleh Belanda. Selain itu, KAA juga berpengaruh terhadap dunia internasional dan menjadi awal munculnya Gerakan Non-Blok. Dengan adanya Puncak Pemberontakan 1958, Deklarasi Djuanda, dan Konferensi Asia Afrika, Indonesia berhasil mengatasi tantangan politik dan memperkuat kedudukannya di tingkat internasional.