Persekongkolan dan Perselingkuhan Negara dan Antek-Anteknya di Tanah Papua: Dari Beelzebul ke Keselamata

Di tengah kekhawatiran yang semakin meningkat mengenai kerusakan hutan di Papua, negara tampaknya lebih fokus pada kepentingan para investor asing dan kroninya daripada kelestarian kehidupan manusia dan alam di sana. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah negara dan antek-anteknya sedang dalam nafsu epithumia, atau keinginan yang tidak terkendali untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam konteks ini, istilah Beelzebul terasa sangat cocok untuk menggambarkan persekongkolan dan perselingkuhan yang terjadi di tanah Papua. Beelzebul, dalam Kitab Suci atau Alkitab, dikenal sebagai sosok dewa Filistin yang juga disebut Baal-Zebub. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Ibrani: Baal, yang berarti dewa kesuburan bangsa Kanaan, dan Zebub, yang berarti "kedudukan yang dihormati." Dalam manuskrip Yahudi, Beelzebul dikenal sebagai sosok yang identik dengan seekor lalat atau serangga terbang. Dalam ilmu demonologi, Beelzebul dikenal sebagai salah satu tujuh setan mematikan atau tujuh pangeran Neraka yang selalu identik dengan kerakusan dan iri hati. Dalam konteks Papua, negara dan antek-anteknya dapat diumpamakan sebagai Beelzebul karena mereka tampaknya lebih peduli pada kepentingan para investor asing dan kroninya daripada kelestarian kehidupan manusia dan alam di sana. Hal ini menunjukkan adanya persekongkolan dan perselingkuhan yang terjadi di tanah Papua. Untuk mengatasi "keintiman" persekongkolan dan perselingkuhan ini, penting bagi kita untuk memperjuangkan kelestarian kehidupan manusia dan alam di tanah Papua. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat upaya perlindungan hutan dan lingkungan, serta memperjuangkan keadilan sosial bagi masyarakat adat di sana. Dengan demikian, kita dapat menghentikan eksploitasi sumber daya alam dan menghargai keberlanjutan kehidupan di tanah Papua. Dalam kesimpulannya, persekongkolan dan perselingkuhan yang terjadi di tanah Papua dapat diumpamakan sebagai tindakan Beelzebul, yang selalu identik dengan kerakusan dan iri hati. Namun, dengan memperjuangkan kelestarian kehidupan manusia dan alam di sana, kita dapat mengatasi "keintiman" ini dan menghargai keberlanjutan kehidupan di tanah Papua.