Senyum di Balik Tembok **

** Matahari terik menyinari jalanan berdebu di pinggiran kota. Di tengah hiruk pikuk kendaraan dan suara pedagang kaki lima, seorang anak laki-laki bernama Rian duduk di depan toko kelontong milik Pak Ahmad. Rian, yang baru berusia 10 tahun, tampak lelah dan lesu. "Rian, kenapa kamu duduk di sini? Sekolahmu sudah selesai?" tanya Pak Ahmad, ramah. "Pak, saya tidak punya uang untuk naik angkot," jawab Rian, suaranya lirih. Pak Ahmad menghela napas. Ia tahu betul bagaimana kehidupan Rian. Anak yatim piatu itu tinggal bersama neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan. "Kamu mau makan apa, Rian?" tanya Pak Ahmad lagi. "Saya mau nasi goreng, Pak," jawab Rian, matanya berbinar. Pak Ahmad tersenyum. "Tunggu sebentar, ya. Pak Ahmad buatkan nasi goreng untukmu." Rian mengangguk, hatinya berbunga. Ia sangat senang dengan kebaikan Pak Ahmad. "Rian, kamu tahu kenapa Pak Ahmad selalu baik sama kamu?" tanya Pak Ahmad, sambil mengaduk nasi goreng. "Kenapa, Pak?" tanya Rian, penasaran. "Karena Pak Ahmad tahu, hidup ini tidak selalu mudah. Kita harus saling membantu, saling peduli," jawab Pak Ahmad, sambil menyajikan nasi goreng di depan Rian. Rian menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia terharu dengan kata-kata Pak Ahmad. Ia menyadari bahwa meskipun hidupnya penuh dengan kesulitan, masih ada orang-orang baik di sekitarnya yang peduli padanya. "Terima kasih, Pak," ucap Rian, sambil tersenyum. Senyum Rian, meskipun sederhana, memancarkan cahaya yang hangat. Senyum itu adalah bukti bahwa kebaikan dan kepedulian masih ada di dunia ini, bahkan di tengah kesulitan dan kesedihan.