Doa di Tengah Reruntuhan **

** Udara berbau asap dan debu. Matahari terik menyinari reruntuhan yang dulu menjadi rumah, toko, dan tempat-tempat yang penuh dengan kehidupan. Di tengah kehancuran, seorang wanita tua berlutut, tangannya menggenggam erat sebuah salib kayu sederhana. Bibirnya bergerak pelan, menggumamkan doa yang terengah-engah. "Tuhan, kami berlumuran dosa. Tuhan, sudilah ampuni kami." Kata-kata itu terulang berkali-kali, seperti mantra yang ingin menenangkan hati yang gundah. Doa itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk semua orang yang tertimpa bencana. Harta benda mereka telah musnah, namun hati mereka masih utuh. "Tuhan, harta kami musnah sudah. Tuhan, hati masih milik kami." Doa itu menjadi jembatan penghubung antara manusia dan Tuhan. Di tengah keputusasaan, mereka mencari kekuatan dan penghiburan. Mereka percaya bahwa Tuhan akan menuntun mereka melewati masa sulit ini. "Tuhan, sudi ampuni mereka. Tuhan, Kau yang tahu perbuatannya." Doa itu juga berisi permintaan maaf dan pengampunan. Mereka menyadari bahwa manusia tak luput dari kesalahan, dan mereka memohon agar Tuhan mengampuni mereka dan orang-orang yang telah menyakiti mereka. "Tuhan, kami berlumuran dosa. Tuhan, sudilah ampuni kami." Doa itu bergema di tengah reruntuhan, sebuah bukti bahwa iman dan harapan masih hidup di tengah kepedihan. Doa itu menjadi sumber kekuatan bagi mereka yang terluka, sebuah pengingat bahwa meskipun dunia runtuh, Tuhan tetap ada, dan kasih-Nya tak pernah padam.