Perlawanan Rakyat Ternate terhadap Portugis di Maluku

Perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis di Maluku terjadi karena beberapa alasan yang meliputi monopoli perdagangan Portugis, campur tangan mereka dalam pemerintahan, upaya mereka untuk menyebarkan agama Katolik yang bertentangan dengan agama yang telah dianut oleh rakyat Ternate, kebencian mereka terhadap agama Islam, perlakuan sewenang-wenang terhadap rakyat, serta keserakahan dan kesombongan bangsa Portugis. Sebagai respons terhadap kehendak Portugis, raja Ternate menolaknya dan rakyat Ternate dipimpin oleh Sultan Hainun bersatu dengan Tidore untuk melawan Portugis. Tokoh utama dalam perlawanan ini adalah Sultan Hainun, yang sangat anti-Portugis. Pada tahun 1565, rakyat Ternate bangkit kembali di bawah pimpinan Sultan Hainun. Portugis berusaha menangkap Sultan Hainun, namun rakyat Ternate melawan Portugis dan berhasil membebaskan Sultan Hainun dan tawanan lainnya. Sultan Hainun dengan tegas menentang usaha Portugis untuk melakukan monopoli perdagangan di Ternate. Rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hainun melakukan perlawanan dengan menyerang dan membakar benteng-benteng Portugis. Portugis kewalahan menghadapi perlawanan tersebut karena kekuatan mereka yang lemah. Pada tahun 1570, Portugis dengan licik menawarkan perdamaian kepada rakyat Ternate. Namun, Sultan Hainun curiga dan tidak hadir dalam pesta perdamaian yang diadakan di benteng Portugis. Akibatnya, Sultan Hainun ditangkap dan dibunuh oleh kaki tangan Portugis. Kejadian ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku, terutama Sultan Baabullah, anak Sultan Hainun. Perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis di Maluku merupakan contoh perlawanan yang gigih dan berani terhadap penjajahan. Meskipun Portugis memiliki kekuatan yang lebih besar, rakyat Ternate tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan mereka. Peristiwa ini menjadi bagian penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan asing.