Bagaimana Wali Songo Membangun Toleransi Beragama di Jawa?

Wali Songo, atau Sembilan Wali, merupakan tokoh-tokoh penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Mereka tidak hanya berperan dalam mengajarkan agama Islam, tetapi juga memiliki peran signifikan dalam membangun toleransi beragama di tengah masyarakat Jawa yang multikultural. Pendekatan mereka yang bijaksana dan penuh kearifan telah membentuk landasan bagi kehidupan beragama yang harmonis di Jawa hingga saat ini.

Pendekatan Kultural Wali Songo

Wali Songo memahami betul bahwa masyarakat Jawa telah memiliki akar budaya dan kepercayaan yang kuat sebelum kedatangan Islam. Mereka tidak serta-merta menghapus tradisi yang ada, melainkan mengadopsi dan mengadaptasinya dengan nilai-nilai Islam. Pendekatan kultural ini terlihat dalam penggunaan wayang kulit sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga. Cerita-cerita wayang yang sudah dikenal masyarakat dimodifikasi dengan memasukkan ajaran Islam, sehingga pesan-pesan agama dapat diterima tanpa menimbulkan resistensi. Hal ini menunjukkan bagaimana Wali Songo membangun toleransi beragama dengan menghargai kearifan lokal dan tidak memaksakan ajaran Islam secara kaku.

Sinkretisme sebagai Jembatan Toleransi

Salah satu strategi Wali Songo dalam membangun toleransi beragama adalah melalui sinkretisme, yaitu penggabungan unsur-unsur berbagai agama dan kepercayaan. Sunan Bonang, misalnya, menciptakan tembang-tembang Jawa yang berisi ajaran Islam namun tetap menggunakan idiom-idiom lokal. Sementara itu, Sunan Kudus menunjukkan toleransinya dengan membangun Menara Kudus yang arsitekturnya menyerupai candi Hindu, sebagai bentuk penghormatan terhadap pemeluk agama Hindu. Pendekatan sinkretis ini memungkinkan Islam diterima secara damai dan menciptakan ruang bagi dialog antar agama.

Pengajaran Nilai-nilai Universal

Wali Songo tidak hanya fokus pada penyebaran ajaran Islam secara dogmatis, tetapi juga menekankan pada nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua kalangan. Sunan Drajat, misalnya, terkenal dengan ajaran "Catur Piwulang" yang menekankan pada kepedulian sosial dan kemanusiaan. Ajaran ini tidak eksklusif untuk umat Islam saja, tetapi berlaku universal bagi seluruh masyarakat. Dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, Wali Songo berhasil membangun landasan toleransi yang kuat di masyarakat Jawa.

Diplomasi dan Pendekatan Politik

Beberapa Wali Songo juga menggunakan pendekatan diplomasi dan politik untuk membangun toleransi beragama. Sunan Giri, yang dikenal sebagai "Raja Pandita", memainkan peran penting dalam memediasi konflik antar kerajaan di Jawa. Ia menggunakan pengaruhnya untuk mempromosikan perdamaian dan toleransi antar komunitas yang berbeda. Sementara itu, Sunan Gunung Jati berhasil membangun aliansi politik dengan kerajaan-kerajaan non-Muslim di Jawa Barat, menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang untuk kerjasama dan hidup berdampingan secara damai.

Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wali Songo juga membangun toleransi beragama melalui pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka mendirikan pesantren-pesantren yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga keterampilan praktis dan ilmu pengetahuan umum. Sunan Ampel, misalnya, mendirikan pesantren di Surabaya yang menjadi pusat pendidikan bagi berbagai lapisan masyarakat, termasuk mereka yang bukan Muslim. Pendekatan ini membantu menciptakan masyarakat yang terdidik dan terbuka, yang pada gilirannya mendukung tumbuhnya sikap toleran terhadap perbedaan.

Keteladanan dalam Kehidupan Sehari-hari

Tidak kalah pentingnya, Wali Songo membangun toleransi beragama melalui keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat, menunjukkan sikap ramah dan penuh kasih kepada semua orang tanpa memandang latar belakang agama atau etnis. Sunan Muria, misalnya, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Keteladanan ini menjadi contoh nyata bagaimana seharusnya umat beragama bersikap dalam masyarakat yang beragam.

Warisan Wali Songo dalam membangun toleransi beragama di Jawa masih terasa hingga saat ini. Pendekatan mereka yang menghargai kearifan lokal, menekankan nilai-nilai universal, dan mengedepankan dialog telah membentuk karakter masyarakat Jawa yang toleran dan inklusif. Meskipun tantangan intoleransi masih ada, fondasi yang diletakkan oleh Wali Songo terus menjadi inspirasi bagi upaya-upaya membangun kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Kearifan Wali Songo dalam memadukan ajaran Islam dengan budaya lokal tanpa menghilangkan esensinya menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana agama dapat menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah belah, dalam masyarakat yang majemuk.