Menaklukkan Panggung, Menemukan Suara: Kisah Orasme Pertamaku **

** Ingatkah kamu saat pertama kali naik sepeda? Rasa takut bercampur dengan semangat, tangan gemetar memegang setang, dan jantung berdebar kencang. Begitulah rasanya saat aku bersiap untuk orasme pertamaku. Aku masih ingat jelas, saat itu kelas enam SD. Acara sekolah, panggung megah, dan deretan kursi penonton yang tampak tak berujung. Aku terpilih sebagai salah satu pembicara, mewakili kelas untuk menyampaikan pidato tentang pentingnya menjaga lingkungan. Awalnya, aku merasa gugup luar biasa. Bayangan wajah-wajah penonton, sorot lampu panggung, dan suara sendiri yang bergema di kepala membuatku ingin menghilang. Namun, aku ingat pesan guruku, "Orasme bukan hanya tentang kata-kata, tapi juga tentang menyampaikan pesanmu dengan sepenuh hati." Saat namaku dipanggil, aku melangkah maju dengan hati berdebar. Tangan gemetar memegang kertas pidato, mataku tertuju pada deretan wajah yang tersenyum. Aku menarik napas dalam-dalam, dan mulai berbicara. Awalnya, suaraku gemetar, tapi perlahan aku mulai menemukan ritme. Aku membayangkan diriku sedang bercerita kepada teman-teman, berbagi pesan tentang pentingnya menjaga bumi. Aku melihat sorot mata mereka, mendengar tawa mereka, dan merasakan antusiasme mereka. Saat pidato selesai, tepuk tangan meriah menggema di ruangan. Aku merasa lega, bangga, dan sedikit tak percaya diri. Aku telah menaklukkan panggung, menemukan suaraku, dan menyampaikan pesan yang ingin kukatakan. Pengalaman orasme pertamaku mengajarkan banyak hal. Aku belajar bahwa keberanian bukan berarti tidak takut, tapi berani menghadapi rasa takut. Aku belajar bahwa suara kita, sekecil apapun, memiliki kekuatan untuk menginspirasi dan mengubah dunia. Dan yang terpenting, aku belajar bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi orator yang hebat, asalkan berani untuk mencoba.