Sentimen Anti-Tionghoa di Indonesia: Studi Kasus pada Masa Kabinet Sukarno

Sentimen anti-Tionghoa telah menjadi isu kompleks yang mewarnai sejarah Indonesia sejak masa kolonial. Berakar dari disparitas ekonomi dan sentimen etnis, sentimen ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, khususnya selama periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

Faktor-Faktor Pemicu Sentimen Anti-Tionghoa

Kebijakan Benteng yang digagas pada awal masa kemerdekaan, bertujuan untuk mengutamakan pengusaha pribumi, namun secara tidak langsung memperkuat stereotip negatif terhadap Tionghoa yang dianggap mendominasi ekonomi. Ketimpangan ekonomi yang nyata antara mayoritas pribumi dan minoritas Tionghoa semakin memperuncing sentimen ini.

Peran Politik dalam Mengeruhkan Suasana

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno mendekat kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memiliki pandangan anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Tionghoa, yang sering dikaitkan dengan kapitalisme, menjadi sasaran empuk propaganda politik. Retorika politik yang membagi masyarakat menjadi "ganyang Malaysia" dan "nekolim" semakin memperkeruh suasana, menempatkan Tionghoa dalam posisi rentan sebagai "kambing hitam".

Kebijakan Diskriminatif terhadap Etnis Tionghoa

Pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan diskriminatif, seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang perdagangan eceran di pedesaan bagi warga negara asing keturunan Tionghoa. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk melindungi pedagang pribumi, justru memperkuat sentimen anti-Tionghoa dan memicu ketegangan sosial.

Manifestasi Sentimen Anti-Tionghoa

Sentimen anti-Tionghoa pada masa Kabinet Sukarno termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari diskriminasi ekonomi, stereotipe negatif di media massa, hingga kekerasan fisik. Peristiwa rasial di beberapa daerah, seperti kerusuhan di Makassar dan Bandung, menjadi bukti nyata dampak buruk dari sentimen anti-Tionghoa yang dibiarkan tumbuh subur.

Dampak Jangka Panjang

Sentimen anti-Tionghoa pada masa Kabinet Sukarno meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Ketegangan etnis yang terjadi pada masa itu menjadi warisan sejarah yang terus menghantui hingga kini. Upaya rekonsiliasi dan penghapusan diskriminasi masih terus dilakukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan harmonis.

Sentimen anti-Tionghoa pada masa Kabinet Sukarno merupakan periode kelam dalam sejarah Indonesia. Faktor ekonomi, politik, dan sosial yang kompleks saling berkelindan, menciptakan badai sentimen anti-Tionghoa yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan. Pembelajaran dari masa lalu ini penting untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, bebas dari segala bentuk prasangka dan diskriminasi.