Peran Keterlibatan Anggota Kelompok dalam Meningkatkan Kinerja Akuakultur di Pedesaa

Akuakultur, yang merupakan subsektor dari perikanan, merupakan bentuk pertanian yang berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesejahteraan ekonomi di beberapa wilayah dunia, termasuk China, Indonesia, dan Vietnam (Edwards, 2000). Keterlibatan anggota kelompok merupakan faktor utama dalam mencapai tujuan dan keberlanjutan akuakultur. Negara-negara Asia, termasuk Indonesia, mendominasi kegiatan kelompok, dengan kontribusi sebesar 88,91% dari produksi ikan budidaya dunia (FAO, 2016). Kondisi akuakultur di Indonesia mengalami kenaikan produksi yang signifikan sejak tahun 2003, dengan volume produksi 13,7 juta ton pada tahun 2013 (Pusdatin KKP, 2013). Keterlibatan anggota kelompok sangat penting bagi keberhasilan dan kelangsungan akuakultur. Kondisi empiris menunjukkan karakteristik kegiatan kelompok. Memahami apa yang mendorong perbedaan tingkat keterlibatan anggota kelompok menjadi penting untuk meningkatkan kinerja kelompok. Penelitian Haqiqiansyah (1999) menunjukkan bahwa perilaku partisipasi petani dapat meningkatkan kapasitas mereka, sementara penelitian FAO (2011) di India dan Thailand menunjukkan bahwa keterlihatan bersama dalam manajemen kelompok menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan tata kelola sektor perikanan budidaya ikan berskala kecil di Indonesia dan Jawa Barat (DKP, 2008 dalam Fatchiya, 2010). Sebesar 59,7% dari total 4,5 juta pembudidaya ikan air tawar di Indonesia adalah skala ekonomi yang cukup terlibat dalam rantai pasokan modern, dan meningkatkan kehandalannya (Pusdatin KKP, 2013). Kabupaten Tasikmalaya sendiri, sebagai salah satu pusat akuakultur di Jawa Barat, memiliki 87.532 orang dan 344 kelompok pembudidaya ikan yang tersebar di 39 kecamatan (Anantanyu, 2009; Fischer dan Qaim, 2011; Uprety, 2003). Kondisi lainnya menunjukkan kecenderungan masih lemahnya kelembagaan petani di negara berkembang dan besarnya hambatan dalam mengembangkan kelembagaan (Anantanyu, 2009). Strategi dan mekanisme yang efektif membantu menumbuhkan kelembagaan. Penelitian Anantanyu (2009) mengemukakan bahwa rendahnya kemampuan kelembagaan ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan partisipasi dalam kegiatan kelompok. Program dan kegiatan penyuluhan selalu mendorong pembentukan usaha dan kelembagaan/organisasi yang berbasis masyarakat sebagai penyedia kegiatan kelompok. Setiap pembudidaya juga memiliki karakteristik yang berbeda, kemampuan, dan kemauan untuk berpartisipasi. Akuakultur bukan hanya dari penyuluh tapi juga melibatkan berbagai dukungan layanan, termasuk pelatihan dan peningkatan kapasitas (Edwards, 2000; Demaine, 2009). Pembudidaya ikan pada pendekatan kelompok memperoleh informasi dan dukungan dari sesama pembudidaya, serta berbagai layanan lainnya (Shresta et al., 2012). Pembentukan kluster (Shresta et al., 2012) dan pembentukan usaha berskala kecil dalam kelompok juga dapat membantu meningkatkan kinerja akuakultur. Sebagai kesimpulan, keterlibatan anggota kelompok sangat penting dalam meningkatkan kinerja akuakultur di pedesaan. Keterlibatan ini dapat membantu meningkatkan kapasitas, meningkatkan produksi, dan meningkatkan kehandalannya. Dengan mengembangkan kelembagaan dan organisasi yang berbasis masyarakat, akuakultur dapat tetap kompetitif dan mengatasi hambatan dalam mengembangkan se