Pemberontakan Andi Azis: Sebuah Tinjauan Argumentatif

Pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar pada tahun 1950. Dipimpin oleh Kapten Andi Azis, seorang mantan anggota APRIS, pemberontakan ini bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia Timur (NIT). Latar belakang pemberontakan ini adalah penolakan Andi Azis terhadap masuknya pasukan APRIS dan TNI yang dianggapnya tidak sesuai dengan kepentingan NIT. Pada tanggal 5 April 1950, pasukan Andi Azis menduduki tempat-tempat vital di Makassar dan menawan Panglima Kolonel A.J. Mokoginta. Mereka menuntut beberapa hal, antara lain, NIT harus tetap berdiri, menentang masuknya pasukan APRIS dan TNI yang tidak didata dengan baik, serta hanya pasukan bekas KNIL yang diizinkan masuk. Untuk menanggapi pemberontakan ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan ultimatum pada tanggal 8 April 1950. Ultimatum tersebut meminta Andi Azis dan pasukannya untuk melaporkan diri dan membebaskan tawanan dalam waktu 4x24 jam. Namun, batas waktu ultimatum tidak dipenuhi oleh pasukan Andi Azis. Akibatnya, pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang dikerahkan untuk menumpas pemberontakan ini. Pada tanggal 10 April 1950, pasukan TNI mendarat di Makassar dan terjadi pertempuran sengit dengan pasukan Andi Azis. Setelah dua hari pertempuran, pasukan Andi Azis meminta berunding. Pada tanggal 8 Agustus 1950, Kolonel Kawilarang (TNI) dan Mayor Jenderal Scheffer (KNIL/KL) bertemu untuk melakukan perundingan. Hasilnya, tercapai kesepakatan untuk menghentikan tembak-menembak dan KNIL/KL harus menyerahkan semua senjatanya. Akhirnya, Andi Azis ditangkap dan diadili di Yogyakarta pada tahun 1953, serta dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Pemberontakan Andi Azis menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia Timur. Meskipun pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan, namun hal ini menunjukkan adanya ketegangan dan perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan daerah-daerah di Indonesia Timur.