Konsep Kebermarkahan dalam Bahas

Dalam bahasa, terdapat konsep kebermarkahan yang terdiri dari bermarkah (marked) dan tidak bermarkah (unmarked). Konsep ini sering diterapkan pada pasangan kata yang berlawanan, di mana satu kata ditandai sebagai kata yang bermarkah dan kata lainnya sebagai kata yang tidak bermarkah. Namun, konsep ini digunakan dengan berbagai cara oleh ahli bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, dalam pertanyaan "Seberapa tinggi gunung itu?", kata "tinggi" masuk ke dalam kategori kata yang tidak bermarkah, sedangkan kata "rendah" masuk ke dalam kategori kata yang bermarkah. Hal ini dapat dilihat dari jawaban yang umumnya diberikan, yaitu "2000 kaki tingginya" bukan "2000 kaki rendahnya". Konsep kebermarkahan juga dapat ditemukan dalam penggunaan panggilan di masyarakat. Sebagai contoh, di masyarakat Makassar, sesama anggota masyarakat sering memanggil satu sama lain dengan sebutan "Daeng". Hal ini merupakan penggunaan panggilan yang tidak bermarkah, karena jarang menggunakan nama asli yang tertera pada kartu identitas formal mereka. Sebaliknya, nama asli seperti "Taufik" masuk ke dalam kategori kata yang bermarkah. Selain itu, konsep kebermarkahan juga dapat ditemukan dalam pertanyaan seperti "Seberapa kencangnya larinya?" yang masuk ke dalam kategori kata yang tidak bermarkah, dan "Seberapa lambatnya larinya?" yang masuk ke dalam kategori kata yang bermarkah. Dalam bahasa, konsep kebermarkahan memiliki peran penting dalam memahami penggunaan kata dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami konsep ini, kita dapat lebih memahami bagaimana bahasa digunakan dalam berbagai konteks dan situasi.