Mengapa Rasisme Masih Bertahan di Era Globalisasi?

Di dunia yang semakin terhubung ini, di mana batas geografis terasa semakin kabur, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: rasisme masih ada. Globalisasi, dengan segala janjinya tentang interaksi budaya dan saling pengertian, ternyata belum mampu membasmi prasangka dan diskriminasi yang mengakar dalam sejarah manusia. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mengapa rasisme masih bertahan di era globalisasi ini?

Akar Sejarah yang Dalam

Salah satu faktor utama yang menyebabkan rasisme sulit dihapuskan adalah akar sejarahnya yang dalam. Selama berabad-abad, ideologi rasisme telah digunakan untuk membenarkan penjajahan, perbudakan, dan eksploitasi. Pemikiran yang menganggap satu ras lebih unggul dari ras lain telah tertanam dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi di berbagai belahan dunia. Meskipun praktik-praktik diskriminatif secara terbuka telah dihapuskan, warisan masa lalu ini masih membekas dalam bentuk ketidaksetaraan struktural dan prasangka yang tersembunyi.

Ketimpangan Ekonomi dan Ketidaksetaraan Sosial

Globalisasi, dalam beberapa hal, justru memperparah kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada. Kemajuan teknologi dan liberalisasi perdagangan seringkali menguntungkan negara-negara maju dan segelintir elit di negara-negara berkembang, sementara kelompok marginal dan minoritas tetap tertinggal. Ketimpangan ini menciptakan persaingan dan kecemburuan sosial, yang kemudian dapat dieksploitasi untuk mengobarkan sentimen rasisme. Kelompok yang merasa terancam secara ekonomi atau sosial cenderung mencari kambing hitam, dan seringkali kelompok minoritas menjadi sasaran empas amarah dan frustrasi mereka.

Peran Media dan Teknologi

Di era digital ini, media dan teknologi memiliki peran ganda dalam melanggengkan rasisme. Di satu sisi, platform online dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan pesan-pesan anti-rasisme, menggalang solidaritas, dan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu rasial. Namun di sisi lain, media sosial juga dapat menjadi wadah penyebaran ujaran kebencian, propaganda rasis, dan informasi yang bias. Algoritma yang dirancang untuk mempersonalisasi konten seringkali memperkuat bias yang sudah ada, menciptakan ruang gema di mana individu hanya terpapar pada pandangan-pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Ketakutan terhadap Kehilangan Identitas

Globalisasi seringkali dipandang sebagai ancaman terhadap identitas budaya dan nilai-nilai tradisional. Arus migrasi, pertukaran budaya, dan pengaruh global dapat memicu rasa takut akan hilangnya jati diri di kalangan sebagian orang. Ketakutan ini kemudian dapat dimanfaatkan untuk mengobarkan sentimen nasionalisme sempit dan xenofobia, yang pada gilirannya dapat mengarah pada diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Meskipun globalisasi telah membawa banyak kemajuan dalam berbagai bidang, namun realitasnya adalah rasisme masih menjadi masalah serius yang harus kita hadapi bersama. Akar sejarah yang dalam, ketimpangan ekonomi, peran media dan teknologi, serta ketakutan terhadap kehilangan identitas, semuanya berkontribusi pada kelanggengan rasisme di era globalisasi ini. Untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara, kita perlu mengatasi akar masalah ini melalui pendidikan, dialog antarbudaya, dan upaya kolektif untuk membangun masyarakat yang inklusif dan menghargai keberagaman.