Dinasti Sanjaya dan Syailendra di Bhumi Mataram: Kolaborasi dan Perebutan Kekuasaan

Bhumi Mataram, wilayah yang diperintah oleh dua dinasti, Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu di bagian utara dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha di bagian selatan, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks. Meskipun kedua dinasti ini dapat bekerja sama dalam pembuatan candi, namun terjadi perebutan kekuasaan di bidang politik. Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 mencatat bahwa Raja Sanjaya memerintah Kerajaan Mataram Kuno setelah kekuasaan Raja Sanna. Raja Sanjaya mendirikan Siwalingga baru dan memindahkan pusat pemerintahan ke Bhumi Mataram, mengubah nama Kerajaan Kalingga menjadi Medang di Bhumi Mataram. Putranya, Rakai Panangkaran, menggantikan Raja Sanjaya setelahnya. Pada tahun 752 Masehi, kekuatan Sriwijaya kembali bergerak ke Jawa dan menaklukkan Wangsa Sanjaya di Bhumi Mataram. Namun, pada tahun 847 M, Rakai Pikatan, keturunan Wangsa Sanjaya, berhasil mengusir Wangsa Syailendra dari Bhumi Mataram, memaksa Balaputradewa melarikan diri ke tanah moyangnya. Rakai Pikatan, yang juga suami Sri Pramodyawardhani, naik takhta di Jawa dan ibu kota kerajaannya pindah ke Mamrati. Setelah Rakai Pikatan, Raja berikutnya di Mamrati adalah Rakai Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang. Kemudian, Dyah Balitung menggantikan Rakai Watuhumalang dan istana pindah ke Poh Pitu di daerah Kedu. Selain perebutan kekuasaan, kehidupan sosial ekonomi di Bhumi Mataram juga memiliki peran penting dalam sejarahnya. Namun, untuk menjaga kesesuaian dengan persyaratan artikel, kita akan fokus pada aspek politik dan dinasti yang memerintah Bhumi Mataram. Dengan kolaborasi dan perebutan kekuasaan antara Dinasti Sanjaya dan Syailendra, Bhumi Mataram menjadi pusat kekuasaan yang penting di Jawa pada masa itu. Sejarah ini memberikan wawasan yang menarik tentang dinamika politik dan kehidupan di Bhumi Mataram pada masa lalu.