Senja di Rumah Tua **

** Aroma kayu manis dan jahe bercampur dengan asap kayu bakar memenuhi ruang tamu. Cahaya senja menerobos celah jendela kayu, menari-nari di atas meja makan yang sudah terhampar rapi. Di tengah meja, sebuah panci berisi sup hangat mengeluarkan uap tipis, mengundang selera. Di sekeliling meja, empat kursi kayu tua berderet, menunggu penghuninya. Ibu, dengan rambut putihnya yang terurai lembut, sedang menata piring berisi nasi hangat. Ayah, dengan tangan keriputnya yang penuh dengan bekas luka, sedang menata lauk pauk di atas meja. Kakak, dengan senyum cerahnya, sedang menata gelas berisi teh manis. Dan aku, dengan hati yang penuh syukur, hanya bisa memandangi mereka dengan penuh cinta. Senja di rumah tua ini selalu terasa istimewa. Suasana hangat dan penuh kasih sayang menyelimuti setiap sudut ruangan. Suara tawa dan canda keluarga bergema di antara dinding-dinding tua yang penuh kenangan. Di sini, aku merasa aman, terlindungi, dan dicintai. Saat kami berkumpul di meja makan, suasana hening sejenak. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring dan suara sup yang mendidih yang terdengar. Namun, hening itu bukanlah hening yang hampa. Hening itu dipenuhi dengan rasa syukur, cinta, dan kebersamaan. "Makanlah, Nak. Jangan banyak diam," kata Ibu, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Aku mengangguk, lalu mengambil sepotong ayam goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. Rasa gurih dan renyah ayam goreng itu bercampur dengan rasa hangat dan gurih sup, membuatku merasa sangat bahagia. Senja di rumah tua ini adalah momen yang tak ternilai harganya. Momen di mana aku bisa merasakan kasih sayang dan kebersamaan keluarga yang tak tergantikan. Momen di mana aku bisa merasakan betapa beruntungnya aku memiliki keluarga yang selalu mencintai dan mendukungku. Momen di mana aku bisa merasakan arti sesungguhnya dari kata "rumah".