Senja di Ujung Jalan **

** Mentari perlahan meredup, meninggalkan langit jingga yang memudar. Di ranjang rumah sakit, seorang wanita tua terbaring lemah, napasnya tersengal-sengal. Matanya yang dulu berbinar kini redup, menatap kosong ke langit-langit. Di sampingnya, seorang pria paruh baya, putranya, menggenggam erat tangan ibunya. Air mata mengalir di pipinya, membasahi punggung tangan ibunya yang keriput. "Ibu, aku tahu kau lelah. Kau sudah berjuang keras melawan penyakit ini. Aku ingin kau tenang, Ibu. Aku ingin kau bebas dari rasa sakit ini." Suara pria itu bergetar, penuh dengan kesedihan. Ibunya hanya mampu mengerutkan kening, matanya masih kosong. Dia tidak bisa berbicara, tidak bisa bergerak, hanya bisa merasakan sakit yang merayap di sekujur tubuhnya. "Ibu, aku ingin kau pergi dengan tenang. Aku ingin kau bebas dari penderitaan ini. Aku tahu ini sulit, tapi aku mohon, Ibu, izinkan aku untuk melepaskanmu." Air mata pria itu semakin deras. Dia tahu, apa yang dia katakan adalah hal yang sangat berat. Tapi dia juga tahu, ibunya sudah sangat menderita. Dia ingin ibunya pergi dengan tenang, tanpa rasa sakit. Di tengah kesedihan yang mendalam, pria itu teringat akan sebuah pilihan. Eutanasia. Sebuah pilihan yang kontroversial, tapi mungkin satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan ibunya. Dia tahu, pilihan ini akan dipenuhi dengan perdebatan dan penolakan. Tapi dia juga tahu, dia harus melakukan yang terbaik untuk ibunya. Dia harus melepaskan ibunya dengan tenang, tanpa rasa sakit. Senja semakin gelap, langit jingga semakin memudar. Di ranjang rumah sakit, seorang wanita tua terbaring lemah, menunggu keputusan putranya. Keputusan yang akan menentukan akhir dari perjalanan hidupnya.