Apakah Kanonisasi Masih Relevan di Era Modern?

Di era digital yang ditandai dengan arus informasi yang deras dan beragam perspektif, pertanyaan mengenai relevansi tradisi dan konsep lama kerap mengemuka. Salah satunya adalah konsep kanonisasi, suatu proses yang mengangkat karya, individu, atau gagasan tertentu ke level yang dianggap penting dan patut dilestarikan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah kanonisasi, dengan segala implikasinya, masih relevan di era modern yang dinamis ini?

Menelisik Makna Kanonisasi di Era Modern

Kanonisasi, dalam konteks sastra misalnya, seringkali dikaitkan dengan pembentukan suatu "daftar karya agung" yang dianggap mewakili puncak-puncak prestasi intelektual dan artistik suatu bangsa. Karya-karya yang masuk dalam kanon sastra seringkali diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas, menjadi rujukan bagi kritikus dan akademisi, serta membentuk pemahaman masyarakat tentang sejarah dan identitas budaya mereka.

Namun, di era modern yang serba cair, definisi dan proses kanonisasi patut untuk dikaji ulang. Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah membuka akses terhadap beragam budaya dan perspektif, menantang batasan-batasan tradisional dan hegemoni budaya dominan.

Tantangan terhadap Kanonisasi di Era Informasi

Salah satu kritik utama terhadap kanonisasi adalah potensi bias dan eksklusivitasnya. Kritikus berpendapat bahwa proses kanonisasi seringkali didominasi oleh kelompok elit tertentu, yang mencerminkan preferensi dan pandangan dunia mereka sendiri. Akibatnya, karya-karya dari kelompok minoritas, perempuan, atau kelompok terpinggirkan lainnya seringkali terabaikan atau terpinggirkan dari kanon utama.

Di era digital, ketika informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat, masyarakat semakin kritis terhadap narasi tunggal dan otoritas tunggal. Platform media sosial dan platform daring lainnya memungkinkan individu untuk menyuarakan pendapat mereka, berbagi karya mereka, dan membentuk komunitas mereka sendiri. Hal ini menantang dominasi institusi tradisional, seperti penerbit, akademisi, dan kritikus, dalam menentukan nilai dan relevansi suatu karya.

Merangkul Pluralitas dan Dinamika Budaya

Meskipun menuai kritik, kanonisasi tetap memiliki relevansi di era modern. Alih-alih memandangnya sebagai daftar statis karya-karya agung yang abadi, kanonisasi perlu dimaknai sebagai proses yang dinamis dan terus berkembang.

Di era modern, kanonisasi harus mampu merangkul pluralitas dan keragaman budaya. Karya-karya dari berbagai latar belakang budaya, gender, dan kelas sosial perlu mendapatkan tempat dan apresiasi yang setara.

Lebih lanjut, kanonisasi di era digital perlu melibatkan partisipasi publik yang lebih luas. Platform daring dapat menjadi ruang untuk berdiskusi, berdebat, dan merekomendasikan karya-karya yang dianggap penting dan relevan dengan konteks zaman.

Kanonisasi, dengan demikian, bukanlah konsep usang yang tergerus zaman. Sebaliknya, kanonisasi di era modern perlu dimaknai sebagai proses yang inklusif, dinamis, dan responsif terhadap perubahan sosial budaya. Dengan merangkul pluralitas, mendorong dialog terbuka, dan memanfaatkan teknologi digital, kanonisasi dapat terus berperan dalam melestarikan warisan budaya, memperkaya khazanah intelektual, dan membentuk pemahaman kita tentang dunia.