Harta Tak Ternilai **

** Matahari sore menerobos celah jendela, menyapa wajahku yang masih terbenam dalam lamunan. Di luar sana, hiruk pikuk kota Jakarta bergema, namun di dalam kamar ini, hanya ada keheningan. Aku teringat pada pertemuan kami siang tadi, di kafe mewah yang sering kami kunjungi. "Gue mau kasih lo hadiah, Tulus," ucap Reza, sahabatku yang kaya raya itu, sambil tersenyum lebar. "Hadiah? Buat apa?" tanyaku heran. "Buat lo, sahabat gue. Lo selalu ada buat gue, dan gue pengen ngasih sesuatu yang berharga buat lo," jawabnya. Reza kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. Di dalamnya tersimpan sebuah jam tangan mewah bertahta berlian. Aku tercengang. "Ini mahal banget, Reza. Gue nggak bisa nerima," kataku. "Nggak usah sungkan, Tulus. Ini tanda persahabatan kita. Gue pengen lo selalu inget gue, di mana pun lo berada," jawabnya. Aku terdiam. Aku tahu Reza tulus dalam perkataannya, namun aku merasa tak pantas menerima hadiah semahal itu. "Gue lebih menghargai persahabatan kita daripada harta benda, Reza," kataku akhirnya. Reza tersenyum. "Gue tahu, Tulus. Tapi gue pengen lo punya sesuatu yang berharga dari gue. Anggap aja ini kenang-kenangan." Aku akhirnya menerima jam tangan itu, dengan perasaan campur aduk. Aku tahu Reza bukan orang yang suka pamer kekayaan. Dia selalu sederhana dan rendah hati. Namun, aku tetap merasa tak nyaman menerima hadiah semahal itu. Malam ini, aku merenung. Aku menyadari bahwa harta benda memang penting, namun persahabatan jauh lebih berharga. Reza mungkin kaya raya, namun dia tak pernah lupa akan sahabatnya. Dia selalu ada untukku, dalam suka maupun duka. Aku tersenyum. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti Reza. Harta benda mungkin bisa hilang, namun persahabatan sejati akan tetap abadi.