Senja di Jendela Tua **

** Mentari senja menyapa jendela tua di rumah kayu itu. Cahaya jingga menerobos celah-celah kayu yang lapuk, menari-nari di atas meja kayu yang penuh dengan buku-buku usang. Di sana, duduklah seorang wanita tua, rambutnya memutih seperti salju, matanya redup namun memancarkan cahaya hangat. Ia menatap foto seorang pria muda yang tersenyum lebar, foto itu terbingkai kayu sederhana dan sudah kusam dimakan waktu. "Kau masih ingat, Pak Haris?" bisiknya pelan, suaranya serak seperti daun kering yang tertiup angin. "Saat kita pertama kali bertemu di taman ini, kau sedang membaca puisi tentang senja. Kau bilang, senja adalah waktu yang indah untuk merenung, untuk mengingat, untuk mencintai." Tangannya terulur, menyentuh lembut foto itu. Kenangan berputar-putar di kepalanya, seperti film bisu yang diputar ulang. Ia teringat senyum hangat Pak Haris, tatapan mata yang penuh cinta, dan janji abadi yang terucap di bawah pohon beringin tua. "Kita muda saat itu, Pak Haris. Penuh mimpi dan harapan. Kita berjanji untuk saling mencintai selamanya, tak peduli apa pun yang terjadi." Air mata menetes di pipinya, membasahi foto Pak Haris. Ia teringat saat Pak Haris pergi, meninggalkan dirinya dalam kesedihan yang mendalam. Penyakit merenggutnya, meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh. "Aku selalu menunggumu, Pak Haris. Setiap senja, aku duduk di sini, di dekat jendela tua ini, dan mengingat semua kenangan kita. Aku tahu, kau juga selalu ada di sini, di dalam hatiku." Ia tersenyum, air mata masih membasahi pipinya. Senja di jendela tua itu menjadi saksi bisu cinta abadi mereka, cinta yang tak lekang oleh waktu, cinta yang terukir di hati, dan akan terus hidup selamanya.