Jejak di Antara Dua Jendela **
Bab 1: Ghaisani Jelita dan Jendela Masa Lalu Mentari pagi menyapa Bandung dengan hangat, menyapa Ghaisani Jelita yang baru saja turun dari bus kota. Udara sejuk khas kota kembang langsung menerpa wajahnya, membasuh sisa kantuk yang masih menempel. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma khas Bandung yang selalu membuatnya merasa tenang. Hari ini, Ghaisani memulai babak baru dalam hidupnya. Ia resmi menjadi mahasiswi di Universitas Pendidikan Indonesia, kampus impiannya sejak SMA. Ghaisani selalu terpesona oleh dunia sosiologi. Ia haus untuk memahami perilaku manusia, mengungkap misteri di balik setiap interaksi, dan menemukan makna di balik setiap tindakan. Mimpi itu membawanya ke Bandung, menapaki bangku perkuliahan di kampus yang terkenal dengan program pendidikannya. Di tengah hiruk pikuk kota, Ghaisani menemukan dirinya terhanyut dalam dunia baru, dipenuhi dengan wajah-wajah asing dan pengalaman yang tak terduga. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru, belajar mengenal teman-teman baru, dan menghadapi tantangan baru. "Ghaisani, kamu di sini?" Suara itu membuat Ghaisani menoleh. Di sana, berdiri seorang perempuan dengan senyum ramah dan mata yang bersinar. "Iya, Kak. Aku Ghaisani," jawab Ghaisani, sedikit gugup. "Aku Rara, kakak kelasmu. Kita satu jurusan, lho. Ayo, aku anter ke kelas," ujar Rara, menarik tangan Ghaisani. Rara mengajak Ghaisani berkeliling kampus, memperkenalkan berbagai tempat penting dan memperkenalkan Ghaisani kepada teman-teman sekelasnya. Ghaisani merasa lega karena Rara sangat ramah dan membantu. Hari-hari pertama di kampus terasa menyenangkan. Ghaisani menikmati suasana baru, belajar materi baru, dan berteman dengan orang-orang baru. Ia merasa hidupnya semakin berwarna. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Ghaisani merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia sering teringat akan masa SMA-nya, khususnya tentang seorang laki-laki yang pernah membuatnya penasaran. Nama laki-laki itu adalah Arga. Arga adalah teman sekelas Ghaisani di SMA. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas, humoris, dan populer di kalangan teman-temannya. Ghaisani sering melihat Arga dari kejauhan, memperhatikan tingkah lakunya, namun tak pernah berani mendekatinya. Ghaisani merasa ada sesuatu yang menarik pada Arga, namun ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ia takut ditolak, takut persahabatan mereka akan berakhir. "Ghaisani, kamu kenapa? Kok melamun terus?" tanya Rara, yang menyadari perubahan sikap Ghaisani. "Enggak apa-apa, Kak. Cuma lagi mikirin sesuatu," jawab Ghaisani, berusaha menyembunyikan pikirannya. "Mikirin siapa? Cowok, ya?" tanya Rara, menggoda. Ghaisani hanya tersenyum, tak menjawab pertanyaan Rara. Ia tak ingin menceritakan tentang Arga kepada Rara. Ia takut Rara akan mengejeknya karena menyimpan perasaan pada Arga yang tak pernah ia ungkapkan. Beberapa minggu kemudian, Ghaisani bertemu dengan Arga di sebuah kafe di dekat kampusnya. Arga terlihat lebih dewasa dan tampan. Ia mengenakan kemeja putih yang membuatnya terlihat semakin menawan. "Ghaisani? Kamu di sini?" tanya Arga, terkejut melihat Ghaisani. "Iya, Arga. Aku lagi ngopi sama teman," jawab Ghaisani, sedikit gugup. "Oh, ya. Aku juga lagi ngopi sama teman. Boleh gabung?" tanya Arga, ramah. Ghaisani mengangguk, mengizinkan Arga untuk bergabung dengannya. Arga memperkenalkan temannya, seorang laki-laki bernama Reza. "Hai, Ghaisani. Aku Reza, teman Arga," sapa Reza, ramah. "Hai, Reza. Aku Ghaisani," jawab Ghaisani, tersenyum. Mereka berbincang-bincang tentang berbagai hal, mulai dari kuliah, hobi, hingga rencana liburan. Ghaisani merasa senang bisa bertemu dengan Arga lagi. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Arga, sesuatu yang membuatnya semakin tertarik. "Ghaisani, kamu kuliah di mana?" tanya Arga, penasaran. "Aku kuliah di UPI, jurusan Sosiologi," jawab Ghaisani. "Oh, ya. Aku kuliah di Unpad, jurusan Teknik Informatika," jawab Arga. "Seru, ya, kuliah di Bandung?" tanya Ghaisani. "Seru banget. Banyak tempat menarik yang bisa dijelajahi," jawab Arga. "Kamu suka jalan-jalan?" tanya Ghaisani. "Suka banget. Kamu suka jalan-jalan juga?" tanya Arga, balik bertanya. "Suka. Aku suka jalan-jalan ke tempat-tempat baru, ngerasain suasana baru," jawab Ghaisani. "Kapan-kapan kita jalan-jalan bareng, ya?" ajak Arga. Ghaisani terdiam, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa senang dengan ajakan Arga, namun ia juga merasa ragu. Ia takut jika ia menerima ajakan Arga, ia akan semakin terpuruk dalam perasaan yang tak terungkap. "Gimana? Mau?" tanya Arga, melihat Ghaisani terdiam. "Ehm, aku... aku harus mikir dulu," jawab Ghaisani, gugup. "Oke, enggak apa-apa. Aku tunggu jawabannya," jawab Arga, tersenyum. Ghaisani merasa terjebak dalam dilema. Ia harus memilih antara masa lalu yang tak terlupakan dan masa depan yang tak terduga. Ia harus memilih antara perasaan yang terpendam dan perasaan yang baru tumbuh. Ghaisani menatap Arga, mencoba membaca isi hatinya. Ia melihat ada sesuatu yang berbeda pada Arga, sesuatu yang membuatnya semakin tertarik. Namun, ia juga merasa takut. Ia takut jika ia membuka hati untuk Arga, ia akan terluka lagi. Ghaisani teringat akan masa SMA-nya, saat ia pertama kali bertemu dengan Arga. Saat itu, ia merasa tertarik pada Arga, namun ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ia takut ditolak, takut persahabatan mereka akan berakhir. Ghaisani terdiam, merenungkan pilihannya. Ia harus memilih dengan hati-hati, karena pilihannya akan menentukan masa depannya. Bersambung ke Bab 2