Kabinet Sukiman: Upaya Konsolidasi Politik yang Terganjal Tantangan **

Kabinet Sukiman, yang berkuasa dari April 1951 hingga April 1952, menghadapi tantangan politik yang berat dalam membangun negara pasca kemerdekaan. Upaya konsolidasi politik menjadi fokus utama Kabinet Sukiman, dengan pembentukan kabinet koalisi yang melibatkan berbagai partai politik seperti Masyumi, PNI, dan PSI. Tujuannya adalah untuk mencapai konsensus dan stabilitas politik yang diperlukan untuk membangun negara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, upaya konsolidasi politik Kabinet Sukiman terganjal oleh berbagai tantangan. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat dan Aceh menjadi ancaman serius bagi stabilitas negara. Kabinet Sukiman berupaya mengatasi pemberontakan dengan operasi militer dan negosiasi, namun konflik terus berlanjut. Selain itu, Kabinet Sukiman juga menghadapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Upaya mengatasi inflasi dengan kebijakan deflasi tidak efektif, dan kondisi ekonomi semakin memburuk. Meskipun Kabinet Sukiman berupaya menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di Asia Tenggara, dan menerima bantuan ekonomi dari Amerika Serikat, upaya ini tidak cukup untuk mengatasi tantangan yang dihadapi. Kesimpulan: Kabinet Sukiman gagal dalam upaya konsolidasi politik dan membangun pemerintahan yang stabil. Konflik antar partai dan pemberontakan DI/TII terus berlanjut, dan krisis ekonomi semakin memburuk. Kegagalan Kabinet Sukiman menunjukkan betapa sulitnya membangun negara pasca kemerdekaan, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan politik dan ekonomi. Wawasan:** Kisah Kabinet Sukiman memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya stabilitas politik dan ekonomi dalam membangun negara. Tantangan yang dihadapi Kabinet Sukiman menunjukkan bahwa membangun negara membutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak, serta strategi yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah.