Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menentukan Alasan Penghapusan Pidana karena Daya Paksa: Kasus Terdakwa III Mohher Bin Fifi
4 (242 suara) Pendahuluan:
Pertimbangan hukum hakim dalam menentukan alasan penghapusan pidana karena daya paksa adalah isu penting dalam sistem hukum. Dalam kasus Terdakwa III Mohher Bin Fifi, Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi pertimbangan hukum hakim dan tujuan hukum untuk kemanfaatan dan keadilan dalam kasus ini.
Bagian 1: Pertimbangan Hukum Hakim
Pertimbangan hukum hakim dalam menentukan alasan penghapusan pidana karena daya paksa didasarkan pada ketentuan Pasal 48 KUHP, yang menyatakan bahwa "Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht) tidak dipidana." Daya paksa yang dimaksud dalam Pasal 48 KUHP adalah suatu keadaan memaksa, baik sifatnya fisik maupun psikis, yang sangat sehingga seseorang tidak dapat menghindarinya dan terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Dalam kasus Terdakwa III Mohher Bin Fifi, terdakwa tidak dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum bahwa ia melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika karena dalam menggunakan sabu-sabu dalam keadaan dipaksa oleh tiga terdakwa lainnya. Oleh karena itu, ada alasan pemaaf yang dapat menghapus dari tanggung jawab pidana, dan untuk itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusan membebaskan terdakwa Mohher Bin Fifi dari segala dakwaan Jaksa.
Bagian 2: Kesesuaian Putusan Bebas dengan Tujuan Hukum untuk Kemanfaatan dan Keadilan
Dari segi tujuan hukum untuk kemanfaatan, putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Surabaya kepada Terdakwa III Mohher Bin Fifi kurang bermanfaat karena tidak akan membuat terdakwa/penyalahguna narkotika tersebut jera atau terhindar dari rasa kecanduan. Sebaliknya, pemberian putusan bebas tersebut akan membuat terdakwa mengulangi perbuatannya kembali. Dari segi tujuan keadilan, putusan bebas tersebut sama sekali tidak adil karena putusan bebas yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada Terdakwa Mohher bukanlah putusan bebas murni melainkan putusan bebas tidak murni. Hal ini dibuktikan dengan surat dakwaan yang disusun dan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kurang cermat, karena penerapan Pasal 48 KUHP terhadap Terdakwa Mohher Bin Fifi tidak sebagaimana mestinya. Harus dibuktikan terlebih dahulu seberapa besar kekuatan daya paksa yang dialami oleh Terdakwa Mohher. Berdasarkan fakta hukum dipersidangan, paksaan yang dialami oleh Terdakwa Mohher bukanlah paksaan absolut maupun relatif, karena terhadap paksaan tersebut masih dapat dihindari oleh Terdakwa tanpa ada kekerasan fisik maupun batin Terdakwa Mohher yang tidak.
Kesimpulan:
Pertimbangan hukum hakim dalam menentukan alasan penghapusan pidana karena daya paksa adalah isu penting dalam sistem hukum. Dalam kasus Terdakwa III Mohher Bin Fifi, Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa. Namun, putusan bebas yang dijatuhkan hakim tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan hukum untuk kemanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu, penting bagi hakim untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang relevan dan memberikan putusan yang adil dan bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.
