Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam

Perkawinan dalam pandangan hukum Islam adalah suatu ikatan sakral yang mengikat dua insan dalam sebuah hubungan yang sah dan diakui oleh agama. Perkawinan bukan hanya sekedar pertemuan fisik antara dua individu, melainkan juga pertemuan dua jiwa yang saling melengkapi. Dalam hukum Islam, perkawinan memiliki tujuan yang mulia, yaitu untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Perkawinan dalam hukum Islam diatur dalam Al-Qur'an dan Hadits. Dalam Al-Qur'an, perkawinan diatur dalam beberapa surat, seperti Surat An-Nisa ayat 1, Surat Ar-Rum ayat 21, dan Surat Al-Baqarah ayat 221. Dalam Hadits, perkawinan diatur dalam Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim. Dalam hukum Islam, ada beberapa syarat dan rukun perkawinan yang harus dipenuhi, seperti adanya ijab dan qabul, adanya wali nikah, adanya mahar, dan adanya dua saksi yang adil.

Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Sementara itu, dalam perspektif hukum positif di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU ini, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam hukum positif di Indonesia, ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan, seperti usia minimal untuk menikah, adanya persetujuan kedua belah pihak, adanya persetujuan orang tua (jika salah satu atau kedua belah pihak masih di bawah umur), dan adanya pendaftaran perkawinan di Kantor Catatan Sipil.

Perbandingan Perkawinan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

Meskipun baik hukum Islam dan hukum positif di Indonesia sama-sama mengatur tentang perkawinan, ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan. Salah satunya adalah terkait dengan poligami. Dalam hukum Islam, poligami diizinkan asalkan suami mampu untuk berlaku adil kepada istrinya. Sementara dalam hukum positif di Indonesia, poligami dibatasi dan diatur dengan ketat.

Selain itu, dalam hukum Islam, perkawinan dapat dilakukan dengan cara siri (tanpa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil), asalkan memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Sementara dalam hukum positif di Indonesia, perkawinan harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil agar diakui oleh negara.

Perkawinan dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia memiliki tujuan yang sama, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Meskipun ada beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya, namun pada dasarnya kedua hukum ini bertujuan untuk melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam perkawinan.