Ketika Kebaikan Menjadi Barang Mewah **

** Di tengah hiruk pikuk kota, di mana gedung-gedung menjulang tinggi dan hiruk pikuk kendaraan tak henti-hentinya, terkadang kita lupa akan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Kebaikan, yang seharusnya menjadi pondasi kehidupan bermasyarakat, kini terasa seperti barang mewah yang hanya dimiliki segelintir orang. Cerita ini bermula dari seorang ibu tua yang berjalan tertatih-tatih di trotoar. Ia membawa keranjang berisi sayur mayur, hasil panen dari kebun kecilnya di pinggiran kota. Ia ingin menjualnya di pasar tradisional, berharap bisa mendapatkan sedikit uang untuk membeli obat-obatan. Namun, perjalanan ibu tua itu tak semulus yang diharapkan. Ia harus berjuang melewati lautan manusia yang sibuk dengan urusan masing-masing. Tak seorang pun yang mau mengulurkan tangan untuk membantunya menyeberangi jalan yang ramai. Bahkan, beberapa orang malah mencibir dan menggerutu karena ia menghalangi jalan mereka. Ibu tua itu akhirnya sampai di pasar, namun tak seorang pun yang mau membeli sayur mayurnya. Pedagang-pedagang lain mencibir dan mengejeknya karena sayur mayurnya terlihat sederhana dan tak menarik. Mereka lebih tertarik menjual produk-produk impor yang mahal dan mengkilap. Ibu tua itu pulang dengan hati yang pedih. Ia menyadari bahwa kebaikan dan kepedulian telah menjadi barang mewah di kota ini. Orang-orang lebih mementingkan keuntungan dan kepuasan pribadi daripada membantu sesama. Cerita ini mungkin hanya sebuah anekdot, namun ia mencerminkan realitas yang terjadi di sekitar kita. Kebaikan dan kepedulian memang tak selalu terlihat mencolok, namun ia memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia. Mari kita renungkan, apakah kita termasuk orang-orang yang menjadikan kebaikan sebagai barang mewah? Atau, apakah kita mau menjadi bagian dari solusi, dengan mengulurkan tangan dan berbagi kebaikan kepada sesama?