Eksplorasi Makna Lengoh dalam Sastra Jawa Klasik

Dalam khazanah sastra Jawa klasik, terdapat beragam konsep dan istilah yang sarat makna dan filosofi. Salah satu di antaranya adalah "lengoh," sebuah kata yang sering muncul dalam berbagai karya sastra, seperti tembang, kakawin, dan babad. Makna "lengoh" sendiri tidaklah tunggal, melainkan memiliki nuansa yang beragam, tergantung konteks penggunaannya. Artikel ini akan mengeksplorasi makna "lengoh" dalam sastra Jawa klasik, menelusuri berbagai interpretasi dan implikasinya dalam memahami karya sastra tersebut.

Makna "Lengoh" dalam Konteks Sastra Jawa Klasik

"Lengoh" dalam bahasa Jawa memiliki arti dasar "bengkok" atau "melengkung." Namun, dalam konteks sastra Jawa klasik, kata ini memiliki makna yang lebih luas dan metaforis. "Lengoh" dapat merujuk pada berbagai hal, seperti:

* Keindahan: "Lengoh" dapat digunakan untuk menggambarkan keindahan yang lentur dan anggun, seperti lengkung tubuh seorang penari atau lengkungan pohon bambu. Dalam tembang, "lengoh" sering digunakan untuk menggambarkan keindahan alam atau kecantikan seorang wanita.

* Keluwesan: "Lengoh" juga dapat merujuk pada keluwesan dan fleksibilitas dalam menghadapi situasi. Seseorang yang "lengoh" dapat dengan mudah beradaptasi dengan perubahan dan tidak mudah patah semangat.

* Kelicikan: Dalam beberapa konteks, "lengoh" dapat memiliki makna negatif, yaitu kelicikan atau kecurangan. Seseorang yang "lengoh" dapat menggunakan kecerdasannya untuk menipu atau memanfaatkan orang lain.

"Lengoh" dalam Tembang Jawa

Dalam tembang Jawa, "lengoh" sering digunakan sebagai kiasan untuk menggambarkan keindahan dan keluwesan. Misalnya, dalam tembang "Dhandhanggula," terdapat bait yang berbunyi:

> *“Lengohing ati, tan kena diweling,

> Nanging yen tan kena diweling,

> Malah bakal nglarani ati.”*

Bait ini menggambarkan hati yang "lengoh" atau tidak mudah diatur, namun jika tidak diatur, justru akan menyakiti hati. Dalam konteks ini, "lengoh" dapat diartikan sebagai sifat hati yang mudah terpengaruh oleh perasaan dan sulit dikendalikan.

"Lengoh" dalam Kakawin

Dalam kakawin, "lengoh" juga sering digunakan sebagai kiasan untuk menggambarkan keindahan dan keluwesan. Misalnya, dalam kakawin "Sutasoma," terdapat bait yang berbunyi:

> *“Lengohing rama, tan kena diweling,

> Nanging yen tan kena diweling,

> Malah bakal nglarani ati.”*

Bait ini menggambarkan rama yang "lengoh" atau tidak mudah diatur, namun jika tidak diatur, justru akan menyakiti hati. Dalam konteks ini, "lengoh" dapat diartikan sebagai sifat rama yang mudah terpengaruh oleh perasaan dan sulit dikendalikan.

"Lengoh" dalam Babad

Dalam babad, "lengoh" sering digunakan untuk menggambarkan sifat seseorang yang licik dan tidak jujur. Misalnya, dalam babad "Babad Tanah Jawi," terdapat tokoh yang digambarkan sebagai "lengoh" karena menggunakan kecerdasannya untuk menipu dan memanfaatkan orang lain.

Kesimpulan

"Lengoh" dalam sastra Jawa klasik memiliki makna yang beragam, tergantung konteks penggunaannya. Kata ini dapat merujuk pada keindahan, keluwesan, dan kelicikan. Pemahaman tentang makna "lengoh" dapat membantu kita memahami lebih dalam karya sastra Jawa klasik dan mengapresiasi keindahan dan filosofi yang terkandung di dalamnya.