Realisme dalam Hubungan Internasional: Sebuah Tinjauan Kritis

Realisme telah menjadi teori dominan dalam hubungan internasional selama beberapa dekade, membentuk cara para sarjana dan pembuat kebijakan memahami dunia. Pendekatan ini berakar pada pandangan pesimis tentang sifat manusia dan keyakinan bahwa negara-negara adalah aktor utama dalam sistem internasional anarki. Artikel ini mengkaji secara kritis realisme dalam hubungan internasional, mengeksplorasi asumsi-asumsinya, kekuatannya, keterbatasannya, dan relevansinya dalam abad ke-21.

Asumsi Utama Realisme

Realisme didasarkan pada beberapa asumsi utama yang membentuk pandangannya tentang politik global. Pertama, realisme menganggap negara-negara sebagai aktor rasional dan egois yang memprioritaskan kepentingan mereka sendiri di atas segalanya. Negara-negara dimotivasi oleh keinginan untuk bertahan hidup dan meningkatkan kekuatan mereka dalam sistem internasional. Kedua, realisme berpendapat bahwa sistem internasional pada dasarnya anarki, yang berarti tidak adanya otoritas pusat di atas negara-negara. Akibatnya, negara-negara harus mengandalkan diri sendiri untuk keamanan dan kesejahteraan mereka sendiri. Ketiga, realisme menekankan pentingnya kekuatan dalam hubungan internasional. Kekuatan, sering kali didefinisikan dalam istilah militer dan ekonomi, dipandang sebagai sarana utama untuk mencapai kepentingan nasional.

Kekuatan Realisme

Realisme telah dipuji karena kemampuannya untuk menjelaskan pola-pola utama dalam hubungan internasional, seperti perang, aliansi, dan keseimbangan kekuatan. Penekanannya pada kepentingan nasional, kekuatan, dan anarki memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami perilaku negara dalam sistem internasional yang kompetitif. Selain itu, realisme telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk memprediksi hasil dari interaksi strategis antar negara. Dengan berfokus pada distribusi kekuatan dan kepentingan nasional, realisme dapat menjelaskan dan memperkirakan aliansi, konflik, dan perjanjian.

Keterbatasan Realisme

Meskipun kekuatannya, realisme juga memiliki keterbatasan. Salah satu kritik utama adalah bahwa realisme terlalu sempit dalam fokusnya pada negara-negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Realisme mengabaikan peran aktor non-negara, seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, dan gerakan sosial transnasional, yang telah menjadi semakin berpengaruh dalam urusan global. Selain itu, realisme telah dikritik karena pandangannya yang statis tentang sistem internasional. Realisme berjuang untuk menjelaskan perubahan transformatif dalam hubungan internasional, seperti berakhirnya Perang Dingin dan munculnya tatanan global multipolar.

Relevansi Realisme di Abad ke-21

Terlepas dari keterbatasannya, realisme tetap menjadi teori yang berpengaruh dalam hubungan internasional. Penekanannya pada persaingan kekuatan, kepentingan nasional, dan sifat abadi konflik terus membentuk cara para sarjana dan pembuat kebijakan memahami dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, kebangkitan kekuatan-kekuatan baru, seperti Cina dan Rusia, telah memicu pembaruan minat terhadap realisme. Banyak sarjana berpendapat bahwa kebangkitan Cina menimbulkan tantangan langsung terhadap tatanan internasional yang dipimpin AS, yang mengarah pada persaingan kekuatan yang lebih besar dan peningkatan risiko konflik.

Realisme memberikan kerangka kerja yang berharga untuk memahami dinamika kekuatan dalam sistem internasional. Namun, penting untuk mengenali keterbatasannya dan mempertimbangkan peran aktor dan faktor non-negara yang membentuk urusan global. Dengan mengakui kekuatan dan kelemahan realisme, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan bernuansa tentang kompleksitas hubungan internasional di abad ke-21.