Bangun dari Lemparannya **

** Mata Ria perlahan terbuka, cahaya redup ruangan UKS menerobos masuk. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas, dan setiap gerakan terasa seperti beban. Ingatannya berputar-putar, kejadian di lapangan basket terlintas samar-samar. Shani, sahabatnya, duduk di sampingnya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Ria, kamu udah sadar? Alhamdulillah," ucap Shani dengan suara lembut. Ria berusaha tersenyum, namun hanya menghasilkan gerakan bibir yang lemah. "Shani... apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara serak. "Kamu pingsan di lapangan, Ria. Untungnya aku langsung bawa kamu ke sini," jawab Shani. Ria teringat bola basket yang melayang ke arahnya, lalu... gelap. "Aku... aku kenapa?" tanyanya lagi, rasa takut mulai merayap di hatinya. "Kamu kelelahan, Ria. Kamu terlalu memaksakan diri latihan," jelas Shani. "Kamu harus lebih memperhatikan kesehatanmu." Ria mengangguk lemah. Dia memang terlalu bersemangat untuk mengejar mimpinya menjadi atlet basket. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa, bahwa dia bisa menjadi yang terbaik. Namun, dia lupa bahwa tubuhnya juga memiliki batas. "Shani, aku... aku takut," bisik Ria, air matanya mulai menetes. Shani mengusap air mata Ria dengan lembut. "Jangan takut, Ria. Kamu akan baik-baik saja. Kita akan berlatih bersama lagi, tapi kamu harus lebih berhati-hati," kata Shani. Ria memeluk erat Shani, rasa syukur dan rasa bersalah bercampur aduk dalam hatinya. Dia bersyukur memiliki sahabat seperti Shani yang selalu ada untuknya. Dia juga merasa bersalah karena telah membuat Shani khawatir. "Terima kasih, Shani," ucap Ria, suaranya bergetar. Shani tersenyum. "Sama-sama, Ria. Yang penting kamu sekarang sudah sadar. Kita akan berlatih lagi, tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya?" Ria mengangguk, matanya menatap langit-langit ruangan UKS. Dia tahu, mimpinya masih panjang. Dia akan terus berlatih, tapi dia juga akan lebih memperhatikan kesehatannya. Dia tidak ingin membuat Shani khawatir lagi. Dia ingin terus berjuang, tapi dengan cara yang lebih bijak.