Mengapa Orang Susah untuk Patuh terhadap Pajak?

Untuk menjawab pertanyaan di judul, kita perlu membedah mulai dari performa pendapatan pajak di Indonesia. Pada tahun 1981, rasio pendapatan pajak terhadap PDB Indonesia mencapai 21,9 persen, lalu pada tahun 2020, menyusut menjadi 8,3 persen saja. Bahkan, menurut data dari Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), kontribusi pajak ke PDB Indonesia berada pada peringkat 114 dari total 120 negara yang didata. Tingkat kepatuhan pajak di Indonesia juga hanya berada di posisi 8 di ASEAN dan 126 di tingkat global pada 2017, berdasarkan data Bank Dunia. Kebijakan pajak tidak bisa dilepaskan dari pemikiran utilitarianisme yang merujuk pada bagaimana pajak bertujuan memastikan barang dan jasa publik tersedia agar masyarakat bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jika menggunakan perspektif ini, apabila barang dan jasa tidak tersedia secara maksimal, masyarakat akan cenderung menyalahkan pemerintah. Yang membuat rumit adalah persepsi ini tidak memikirkan distribusi yang merata antarwarga, mengingat tidak semua orang punya kemampuan yang sama dalam membayar pajak. Oleh karenanya, penguatan institusi pajak merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Terdapat setidaknya tiga isu dalam melihat solusi untuk masalah perpajakan di Indonesia. Pertama, kita harus mengingat kembali bahwa tujuan pajak adalah memberikan suatu jaminan dalam distribusi pendapatan serta mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, sistem perpajakan perlu dirancang ulang untuk menuntaskan masalah kemiskinan ekstrem. Kedua adalah mengenai komunikasi publik. Kemarahan publik kepada pegawai pajak bagai puncak gunung es yang menggambarkan betapa rapuhnya komunikasi antara petugas pajak dan pembayar pajak. Kantor pajak perlu menerapkan strategi komunikasi yang lebih baik dengan pembayar pajak.